2015 #hopeIcanGotoThere

2015 #hopeIcanGotoThere

Kamis, 29 Agustus 2013

SETENGAH

Bagaimana menjadi yang 'setengah'? Serba setengah?
Ayo ah, jangan setengah-setengah :)
Semangat, Anisa!

Jangan diulangi lagi.

Karena bodoh itu selalu membosankan dan menyedihkan.

Senin, 19 Agustus 2013

Prolog Berjalan di Atas Cahaya

Halo! Apa kabar? :D
Hmm, udah lama ya gak nge-share sesuatu. Dua puluh hari. Sebenernya gara-gara gak ada Hotspot/Wifi alias masih berbau mental gratisan, hehe.
Kemarin habis beli novel (sebenernya gak bisa dikatakan novel jg, soalnya kisahnya nyata).
Judulnya Berjalan di Atas Cahaya. Karya Hanum Salsabiela Rais, dkk. Tadinya tujuan buku yang dicari sebenernya bukan ini, tapi 99 Cahaya di Langit Eropa, karya mbak Hanum juga. Gara-gara sudah berkeliling-keliling tapi masih belum nemu akhirnya mencari buku yang lain dan akhirnya pilihan jatuh ke buku ini.
Bukunya bagus, menceritakan perjalanan batin. Kisah tentang mualaf di Eropa. Mm, agak bingung juga sih meresensinya, soalnya tiap bagian nggak pisa dipethal-pethal.
Inih, aku kasih lihat Prolognya. :D





"Dan Allah menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan, dan Dia mengampuni kamu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(QS. Al Hadid: 28)

Inilah ayat Al-Qur'an yang menuntut kita mencari ilmu dengan segala panca indra yang kita miliki. Sebuah tuntutan melakukan perjalanan ilmu dari siapa pun yang kita temui, apa pun yang kita jumpai. Karena setiap apa yang kita lihat, dengar, dan rasa, adalah cahaya dari-Nya.

Dan, hakikat dari sebuah perjalanan adalah taaruf. Saling mengenal antarmanusia. Bahwa kita bersaudara meski terhadang letak geografis, ruang, dan waktu. Meskipun kita terparuh-paruh dalam berbagai bangsa, bahasa, dan warna kulit, terpisahkan samudra, gunung, gurun, dan hutan belantara, perasaan sebagai sesama saudara Muslim tetap melekat. Kita satu keluarga.

Kecintaan dan kebanggaan pada suatu suku, ras, atau bangsa tertentu hanya seperti debu yang menempel di permukaan, datang silih berganti, lalu dengan mudah hilang tersapu waktu. Sedang kecintaan pada Allah bagaikan akar kokoh yang menghunjam ke sanubari. Jutaan bahkan miliaran Muslim di seluruh dunia merayakan kepatuhan kepada Allah, sebuah keyakinan yang tak akan pernah lekang oleh zaman.

Selepas buku 99 Cahaya di langit Eropa hadir, saya tidak pernah membayangkan mendapat respons luar biasa dari para pembaca budiman. Hampir setiap hari saya menerima puluhan e-mail, atau pesan dari pembaca yang menyatakan apresiasi mereka terhadap 99 Cahaya di Langit Eropa via sosial media. Banyak di antara mereka mengagumi keterkaitan antara Islam dan Eropa. Menyatakan percaya-tidak percaya akan banyaknya misteri Islam di Eropa. Mereka menanyakan Fatma, Marion, atau Sergio. Saya sungguh sangat terharu. Meskipun mereka tidak mengenal sahabat-sahabat saya secara pribadi, saya bisa merasakan kedekatan mereka sebagai sesama Muslim. Saudara seiman, yang meskipun terpisah jarak puluhan ribu kilometer, tetap dekat di hati sebagai satu keluarga. Tersambung dalam ikatan persaudaraan yang tulus.

Hal inilah yang akhirnya memacu saya untuk kembali menulis buku tentang kisah dan cerita orang-orang yang tinggal di Eropa, yang bagi saya, mencerahkan batin. Kisah mereka bukan kisah extravagansa, tetapi begitu mendalam, menyejukkan, dan melegakan. Cerita tentang sesuatu ynag sepele, namun di balik cerita itu bersemayam kisah yang mendalam.

Bagi saya pula, kisah mereka adalah jembatan-jembatan yang memudahkan perjalanan saya selama di Eropa. Terakhir saya ke Eropa bersama salah satu televisi swasta untuk liputan Ramadhan, baik mereka saudara sebangsa Indonesia maupun orang lokal di Eropa, menjadi semacam malaikat kecil yang dikirim Tuhan kepada saya untuk memudahkan semua perjalanan panjang saya yang "seharusnya" rumit.
Assalamu'alaikum (Semoga kedamaian selalu menyertai kamu).

Itu adalah bahasa universal yang saya gunakan untuk berhubungan dengan Musjlim dunia. Yang membuat saya tercengang, ungkapan itu juga menjadi bahasa yang dilontarkan orang-orang bule  kepada saya. Tentu, karena mereka melihat saya yang berjilbab. Ungkapan itu bukan dilontarkan sebagai permainan, melainkan sebagai bentuk perhormatan kepada saya.

Lagi dan lagi, perjalanan adalah pematang panjang tak bertepi tak berujung. Lebih daripada sekedar jalan-jalan untuk diunggah ke alam Facebook atau Twitter. Lebih daripada sekadar mendapatkan tebengan murah. Lebih daripada sekadar mendapatkan tumpangan mobil gratis. Lebih daripada kepuasan ketika mendapatkan harga best deal alias harga paling murah dari maskapai penerbangan atau penginapan. Saya percaya, dengan segenap kerendahan hati, semua dari kita adalah saudara yang terhubung dengan pilinan kasih dan cinta. Itulah yang membuat perjalanan hidup ini begitu bermakna.
Jangan pernah menganggap satu manusia--yang kau anggap gak penting--yang kita temui dalam hidup, takkan pernah kita jumpai lagi. Setiap mereka adalah jalan keluar. Satu demi satu dari mereka adalah jembatan-jembatan kita dalam mengarungi perjalanan. Mereka adalah malaikat-malaikat Tuhan yang Dia kirim untuk kita. Tak peduli dari mana, apa warna kulit, atau agama mereka. Yang kita kenal jauh sebelum kita sadar bahwa kita mengenalnya. 

Satu demi satu cerita yang tertoreh dalam buku ini sungguh sebuah percikan cahaya kebaikan dan pengalaman yang tak ternilai harganya untuk saya. Tak kesemuanya adalah cerita traveling yang selalu diidentikkan dengan jalan-jalan mengembara dari satu area ke area lain. Tapi, cerita-cerita dalam buku ini merupakan rangkaian traveling hati dan perasaan. Dari pertemuan orang-orang "tak penting" atau "tak diinginkan" inilah, kita sesungguhnya tengah berjalan di atas cahaya-Nya.
Terima kasih pula kepada dua penulis kontributor dalam buku ini, yaitu Tutie Amaliah dan Wadratul Ula, yang telah membagikan pengalaman perjalanan kehidupan yang luar biasa di Eropa. Adalah sebuah kewajiban bagi kami untuk menceritakan kembali untaian cerita indah selama di Eropa ini untuk Anda semua.

Teriring harap dan asa, semoga buku ringan nan renyah yang digarap singkat selama satu setengah bulan ini, bisa mengantarkan kita menemui "tahun-tahun yang selalu baru" dalam kehidupan kita selanjutnya.

Salam 99 Cahaya bagi kita semua!
Hanum Salsabiela Rais




Kerenkan?
Mmm, ayo baca! :D

Kamis, 01 Agustus 2013

# 1. Ibuk, Iwan Setyawan



    Hari ini saya mencoba membuat resensi novel. Harap dimaklumi ya kalo masih amburadul. Hehe. Judul buku yang saya pilih adalah Ibuk karya Iwan Setyawan. Buku ini merupakan kisah nyata yang kemudian di novelkan. Pengalaman hidup Iwan Setyawan, seorang anak tukang angkot yang menjadi Director Internal Client Management di Nielsen Consumer Research, New York, Amerika Serikat.

    Hmm, tadinya nggak pengen pinjem buku lagi sih, tapi gara-gara terlanjur ditawarin sama mas-mas pemilik penyewaan buku akhirnya aku terima deh. Katanya sih bagus. Padahal hari itu aku sudah agak mual-mual baca novel (lebay nih, hehe).
    Tapi, nggak nyesel kok, swear! ._.v
    Recommended bangetlah! :D

    Jadi begini ceritanya. Dalam buku tersebut diceritakan tokoh Ibuk dan Bapak. Ibuk adalah penjelmaan tokoh Tinah setelah berkeluarga (Penjelmaan? Haha.. Nah loh, bahasanya amazing banget, haha). Tinah adalah gadis lugu yang tidak berkesempatan menamatkan SD karena himpitan biaya. Dan Bapak adalah penjelmaan dari tokoh Sim, suami Tinah, yang saat masa mudanya dicap sebagai playboy pasar. Pekerjaan Sim adalah sebagai supir angkot. Singkat cerita, keduanya menikah dan dikaruniai lima orang anak. Salah satu diantaranya adalah Bayek yang merupakan satu-satunya anak laki-laki. Bayek dalam tokoh ini adalah sang penulis, Iwan.

    Rumah yang mereka tinggali sangat kecil, 6x7, juga sering bocor. Untuk makan pun seadanya, yang penting anak-anak bisa makan. Itulah prinsip Ibuk. Ah ya, satu lagi. Ibuk ingin semua anak-anaknya lulus sekolah bahkan mencapai bangku perguruan tinggi. Tidak seperti dirinya, Sekolah dasar pun tidak lulus.
    She do everything for them. Begitu juga dengan Bapak. Dia sungguh bekerja mati-matian untuk membiayai keluarganya.

    Kelima anaknya dibesarkan dengan kesabaran dan kasih sayang yang luar biasa. Mereka tumbuh dengan mengagumkan. Mandiri, bertanggung jawab, penuh cinta, sederhana, dan bisa diandalkan. Selain itu prestasi belajar mereka pun membanggakan. Mungkin karena mereka tidak ingin menyianyiakan setiap tetes keringat Bapaknya, juga sudah terlampau cukup untuk melihat perjuangan ibunya. Mereka tidak ingin mengecewakan Bapak-Ibunya.

    Penasaran sama bukunya? Harus dong. Hehe. Baca aja, dijamin nggak bakal nyesel (Nah loh, ini malah promosi, hehe).


    Ada beberapa kutipan favoritku nih di buku ini:
  1. Seperti sepatu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu musti kuat. Buatlah pijakanmu kuat.
  2. Lewat cinta yang terus mengalir tanpa jeda.
  3. Ibuk melalui hidup sebagai perjuangan. Tiidak melihatnya sebagai penderitaan.
  4. Belahan jiwa, belahan hidup.
  5. Belahan jiwa yang saling menghidupkan.
    Belahan jiwa yang saling merawat.
  6. Mencintai tidak bisa menunggu.