2015 #hopeIcanGotoThere

2015 #hopeIcanGotoThere

Jumat, 30 Januari 2015

Dunia Sophie | Sebuah Novel Filsafat

Saya mengenal novel ini ketika saya menjadi panitia dalam suatu kegiatan. Kegiatan tersebut  berlangsung cukup lama, 5 hari, tetapi banyak waktu luang di dalamnya, mungkin karena saya sie konsumsi (kerja hanya pada saat jam-jam makan, selebihnya pengangguran :p). Bagi saya hal itu menjadi sangat membosankan, untungnya di awal kegiatan ada seorang teman yang meminjamkan buku. Ternyata sebuah novel filsafat. Kalo dari covernya sih tertulis BEST SELLER INTERNASIONAL. Di sana juga dicantumkan pendapat para ahli tentang novel tersebut, dituliskan jika bahasa yang digunakan mudah dicerna. Okelah, saya putuskan untuk membacanya, lagian saya juga lumayan penasaran. Pun daripada jadi pengangguran yang tidak jelas. Hee..

Tebal bukunya 798 lembar. Tebal buku bagi saya tidak masalah, karena saya sudah mulai terbiasa membaca buku-buku dengan ketebalan beragam (ceile, gaya banget, haha). Sehari dua hari dikebut, masih bisalah selesai (Novel loh ya, haha, or something interest). Tapi ternyata novel yang satu ini berbeda sekali. Butuh kesabaran dan kesetiaan dalam membacanya, haha  (Itu loh membutuhkan pemikiran dalam mencerna kalimat-kalimatnya, ya ampun padahal menurut para ahli penjelasan di dalam novel ini mudah sekali -_-, bagaimana kalo penjelasan yang biasanya coba yaa -_-). Dan akhirnya novel tersebut berhasil saya selesaikan dalam waktu 2 minggu (itupun dengan meloncat-loncat, masih banyak juga yang belum saya pahami).

Oh ya, ada filmnya juga loh. Tapi kalo saya pribadi, lebih suka membaca dulu, baru melihat film. Lebih bisa berimajinasi aja, pun juga lebih ngena.

Oke next

Novel ini berisikan sejarah filsafat yang mengandung corak Barat yang cukup kental. Ada beberapa bagian yang memaparkan sejarah dalam versi yang dipandang Islam dengan cara yang berbeda. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari latar belakang pengarangnya –Jostein Gaarder-. Begitu juga saat membahas situasi dunia di Abad Pertengahan, sebagaimana lazimnya cara penulis Barat dalam memotret periode ini, Gaarder melewatkan banyak kontribusi besar para filosof dan Ilmuan Islam dalam mengantarkan Eropa keluar dari abad kegelapannya.

Tapi ini tidak semestinya membuat novel ini tidak layak diapresiasi. Bagaimanapun, bahasa filsafat tidak bisa dilepaskan dari lingkungan pengalaman sehari-hari dan itu membuka kemungkinan bagi setiap orang untuk memperkaya diri dengan mengambil bahan renungannya dari pengalaman orang lain, termasuk lewat novel ini. (salah satu paragraf Pengantar Penerbit Mizan, Dunia Sophie).

Oke, saya akan mencoba mensharingkan beberapa point yang saya dapat. Tapi sebelumnya akan lebih bijak jika kita mengingat salah satu nasehat Goethe.

Penyair Jerman Goethe pernah berkata bahwa “Orang yang tidak dapat belajar dari masa tiga ribu tahun berarti dia tidak memanfaatkan akalnya.” Aku tidak ingin kamu berakhir dengan keadaan yang begitu menyedihkan. Aku akan melakukan apa yang dapat kulakukan untuk memperkenalkanmu dengan akar sejarahmu. Itulah satu-satunya cara untuk menjadi seorang manusia. Itulah satu-satunya cara untuk menjadi lebih dari sekadar seekor kera telanjang. Itulah satu-satunya cara agar kita tidak hanya melayang-layang di ruang hampa. (halaman 259, Dunia Sophie)

Sophie, seorang pelajar berusia empat belas tahun yang suatu ketika tiba-tiba mendapat surat misterius yang hanya berisi satu pertanyaan: “Siapa kamu?” Kemudian berlanjut ke surat-surat misterius berikutnya: “Dari manakah datangnya dunia?”. Surat itu membuat Sophie mulai mempertanyakan soal-soal mendasar yang tidak pernah ia pikitkan selama ini. Dia mulai belajar Filsafat. (Sinopsis Dunia Sophie)

Nah, sekarang saya akan tuliskan beberapa kutipan dari novel ini. Semoga saja bisa membuat teman-teman menjadi penasaran dengan isi bukunya. :D
Tapi ini hanya direkomendasikan untuk teman-teman yang tertantang nyali keimanannya sih. Kalo misal teman-teman hanya mau berada di dalam zona aman, ya sebaiknya jangan membaca novel ini.

Percakapan antara Sophie dan Guru Filsafatnya –Alberto-.

“Apakah memang mutlak pasti bahwa Tuhan itu ada?”
“Itu dapat diperdebatkan, tentu saja. Tapi bahkan pada zaman kita sekarang ini kebanyakan orang akan setuju bahwa akal manusia itu jelas tidak mampu membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. Aquainas melangkah lebih jauh. Dia percaya bahwa dia dapat membuktikan eksistensi Tuhan atas dasar filsafat Aristoteles.”
“Bagus juga!”
“Dengan akal, kita dapat mengetahui bahwa segala sesuatu di sekitar kita pastilah mempunyai ‘sebab formal’, Tuhan mengungkapkan dirinya kepada umat manusia melalui kitab suci dan juga melalui akal. Oleh karena itu ada ‘teologi iman’ dan ‘teologi alam’. Demikian pula halnya dengan aspek moral. Kitab suci mengajarkan kepada kita cara menjalani kehidupan. Tapi, Tuhan juga memberi kita suatu kesadaran yang memungkinkan kita untuk membedakan yang benar dan yang salah atas dasar ‘alam’. Oleh karena  itu ada ‘dua jalan’ menuju kehidupan moral. Kita tahu bahwa kita salah jika kita mencelakakan orang, bahkan jika kita belum membaca dalam kitab suci bahwa kita harus ‘bertindak kepada orang lain sebagaimana kamu inginkan orang lain bertindak terhadapmu.’ Di sini pun tuntutan yang pasti adalah mengikuti perintah kitab.”
“Kukira aku dapat mengerti,”kata Sophie sekarang. “Itu nyaris seperti bagaimana kita tahu sedang ada hujan angin, dengan melihat adanya kilat menyambar dan dengan mendengar suara Guntur.”
“Benar sekali! Kita dapat mendengar suara Guntur bahkan jika kita buta, dan kita dapat melihat kilat menyambar bahkan jika kita tuli. Memang yang paling baik adalah apabila kita dapat melihat dan mendengar, tentu saja. Tapi tidak ada pertentangan antara apa yang kita lihat dan apa yang kita dengar. Sabaiknya – kedua kesan itu saling menguatkan.”
“Aku mengerti.”
“Biar aku tambahkan sebuah gambaran lain. Jika kamu membaca novel – karya John Steinbeck of Mice and Men, misalnya…”
“Aku telah membacanya, sungguh.”
“Tidakkah kamu merasa bahwa kamu mengetahui sesuatu tentang pengarangnya hanya dengan membaca bukunya?”
“Aku menyadari memang ada kepribadian dari orang yang menulisnya.”
“Hanya itukah yang kamu ketahui tentang dia?”
“Tampaknya dia sangat memedulikan orang-orang luar.”
“Jika kamu membaca buku ini –yang merupakan hasil ciptaan Steinbeck- kamu juga jadi tahu sesuatu mengenai sifat Steinbeck. Tapi kamu tidak dapat berharap untuk memperoleh informasi pribadi tentang sang pengarang. Dapatkah kamu mengetahui dengan membaca of Mice and Men berapa umur sang pengarang ketika dia menulisnya, di mana dia tinggal, atau berapa banyak anak yang dimilikinya?”
“Tentu saja tidak.”
“Tapi kamu dapat menemukan ini dalam biografi tentang John Steinbeck. Hanya dalam biografi – atau otobiografi- sajalah kamu dapat lebih mengenal Steinbeck, orangnya.”
“Itu benar.”
“Kira-kira begitulah kaitan antara Ciptaan Tuhan dan Kitab Suci. Kita dapat mengetahui adanya Tuhan hanya dengan berjalan mengelilingi alam. Kita dapat dengan mudah mengetahui bagaimana Dia mencintai tanaman dan binatang, sebab jika tidak, Dia tidak akan menciptakannya. Tapi informasi tentang Tuhan itu sendiri hanya terdapat dalam Kitab – atau ‘otobiografi’ Tuhan, jika kamu suka istilah itu.” (halaman 286-288, Dunia Sophie)

Memang iya, seharusnya begitu, tidak ada pertentangan antara kitab dan alam; jika ‘itu’ memang kitab yang benar. (saya simpulkan seperti itu, hee)
Oke, lanjut yaa, mari memperkaya pikiran lagi. :D

Seorang astronot Rusia dan seorang ahli bedah otak Rusia pernah membicarakan agama. Ahli bedah itu adalah seorang Kristen, sedangkan sang astronot bukan. Sang astronot berkata, ‘Aku telah pergi ke luar angkasa berkali-kali tapi tidak pernah melihat Tuhan atau malaikat’ Dan ahli bedah otak itu berkata, ‘Dan aku telah mengoperasi banyak orang cemerlang, namun aku tidak menemukan satu pikiran pun.”
“Tapi itu tidak membuktikan bahwa pikiran itu tidak ada.”
“Tidak, tapi itu menekankan kenyataan bahwa pikiran bukanlah benda yang dapat dioperasi atau dipecah-pecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Tidak mudah, misalnya, untuk menghilangkan angan-angan melalui operasi. Itu terlalu jauh untuk bidang operasi. Seorang filosof penting dari abad ketujuh belas bernama Leibniz mengemukakan bahwa perbedaan antara yang material dan yang spiritual sesungguhnya adalah bahwa yang material dapat dipecah-pecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, sedangkan jiwa bahkan tidak dapat dibagi dua.” (Halaman 363-364, Dunia Sophie)

Jangan hanya percaya terhadap apa yang dilihat. (begitu sih kalo aku, J )

“Kamu mengerti maksudnya. Jika orang-orang menyadari mereka hidup dan suatu hari akan mati – dan tidak ada makna yang dijadikan pegangan – mereka mengalami ketakutan, kata Sartre.” (Halaman 703, Dunia Sophie)

Setuju banget. Kita membutuhkan pegangan yang dijadikan dasar untuk jaminan keselamatan kita kelak.
Selama membaca novel ini, novel ini sedikitpun tidak memberi ruang bagi saya untuk tertawa, kecuali 1 hal. Berikut dialognya:
“Namaku Morten,” kata si angsa. “Sebenarnya, aku seekor angsa, tapi dalam kesempatan yang istimewa ini aku telah terbang dari Lebanon dengan kawanan angsa liar. Tampaknya seakan-akan kamu membutuhkan pertolongan untuk turun dari pohon ini.”
“Kamu terlalu kecil untuk dapat membantuku.” Kata Sophie.
“Kamu terburu-buru mengambi kesimpulan, gadis muda. Kamulah yang terlalu besar.”
“Itu sama saja bukan?” (Halaman 691, Dunia Sophie)

Hoho.. bagi saya itu sih lucu, banget malah. Haha..
Oke, mari kita akhiri sampai di sini saja pembahasan kita tentang novel ini ya, jika teman-teman memang berminat membaca, bisa download ebooknya. Udah ada kok. :D

Oh  ya, cerita sedikit ya. Hehe.. sehari yang lalu saya terkena demam. Saya tidak bisa melakukan apapun. Seharian berada di kamar dengan kondisi yang sedikit mengenaskan (lemas dan tidak dapat melakukan apapun). Waktu seakan berjalan lambat sekali. Ah, mengerikan. Saya tidak ingin sakit lagi. Mungkin, Tuhan memberikan sakit kepada saya, agar saya lebih memperhatikan kondisi diri saya, juga agar tidak melewatkan setiap waktu dengan kesia-siaan. Hmm… Alhamdulillah sekarang sudah lumayan sehat. Hehe.. Selanjutnya, kutipan terakhir adalah:
Hanya dengan membangkitkan perasaan mendalam bahwa suatu hari orang pasti mati,
maka dia dapat menghargai betapa senangnya dia bisa hidup. (Dunia Sophie)

Oke, selamat berproses semuanya, tetapi satu hal yang mesti kita pahami. Hidup itu pilihan. Dan ketika kamu telah memilih suatu keyakinan dengan sepenuh hati dan akalmu berarti selanjutnya kamu harus tunduk atas iman. J

Gitu aja sih.. hehe.. salam hangat dari Temanggung ^_^

Oh ya, satu lagi pesan saya, jika sudah selesai membaca novel ini, jangan lupa kembali ke dunia nyata ya! hehe.. Masih banyak yang harus dikerjakan. :)

Tidak ada komentar: