Diambil dari buku 99 Cahaya di Langit Eropa
Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Bangunan kubus
berwarna hitam ini pernah kulihat di mana-mana. Di lukisan, bingkai foto,
sajadah, maupun dalam siaran televisi. Bentuknya demikian sederhana, namun
begitu sempurna. Tak perlu membuatnya beraneka warna, tak perlu membentuknya
aneka rupa. Hanya hitam saja, kubus saja.
Hitam adalah induk
segala warna. Dia mampu menyerap semua spektrum cahaya, meskipun sebenarnya
hitam adalah akromatik, warna yang justru melambangkan ketiadaan warna.
Kekosongan. Budaya barat mengidentikan hitam dengan kematian, namun aku lebih
suka mengasosiakannya dengan pencapaian puncak. Bukankah dalam seni beladiri,
sabuk hitam adalah pencapaian paling tinggi? Demikian juga dalam pencapaian
gelar akadmis; toga berwarna hitam. Mobil milik pejabat tinggi maupun jenis
tulip yang paling mahal, semua hitam. Hitam adalah puncak kesempurnaan. Bentuk kubus juga
tak kalah sempurna bagiku. Karena titik sudut, garis rusuk, dan sisinya paling
teratur dan simetris dari segala arah. Demikian juga Islam - sederhana, namun
sempurna dari segala sisi.
Aku merasa, di
sinilah tempat terindah yang pernah kulihat di dunia. Orang boleh
terkagum-kagum dengan kecantikan menara Eiffel atau kemegahan Colosseum Roma.
Tapi Kakbah dan Masjidil Haram adalah keajaiban dunia yang sebenarnya. Aku
merinding menyaksikan ratusan ribu manusia berputar mengelilinginya dalam
kecepatan dan ritme yang sama, dengan melafalkan kalimat-kalimat pujian yang
sama untuk-Nya.
Lama aku mencari
alasan mengapa "Rumah Allah" dibuat sesederhana ini, di tempat
seperti ini. Mengapa Tuhan memilih Mekkah sebagai tempat untuk umat-Nya
berhimpun? Tempat yang dilingkupi gurun pasir serta muntahan panas dan terik
matahari sepanjang tahun? Kini aku bisa menjawabnya: Karena di situlah aku
merasa hanya Tuhan satu dan satu-satunya zat yang menjadi perhatianku, yang
menjadi penolongku.
Dia memilih tempat
ini agar ibadahku tak terganggu dengan pesona dan kemolekan daya tarik yang
lain. Karena doa yang sungguh-sungguh dan terkabul, tentulah doa-doa yang
dipanjatkan sepenuh hati dan pikiran hamba-Nya.
Sejenak di dalam
berjubelnya umatb manusia yang mengitari Kakbah malam itu aku tersadar akan
sesuatu yang lain lagi. Ternyata segala makhluk dan benda di jagat raya ini,
sekecil apa pun dia, juga bertawaf untuk menjaga keseimbangan hidup. Aku dan
ratusan ribu manusia malam itu tak ubahnya elektron-elektron yang mengelilingi
inti atom. Seperti planet-planet yang mengitari matahari dan pusat galaksi.
Mereka berputar sangat padu dengan izin Sang Maha Pencipta. Lautan Manusia yang
melakukan tawaf itu juga digerakkan oleh satu tujuan: mengagungkan kebesaran
Allah.
Dalam tawaf aku
menegok sekelilingku. Aku terpana menyaksikan manusia-manusia segala bangsa,
segala warna kulit, segala strata sosial berkumpul jadi satu, melakukan
aktivitas yang sama. Mereka semua berpakaian ihram putih, berkebalikan dengan
Kakbah yang hitam legam. Jika hitam adalah "warna" yang menyerap
segala spektrum, putih adalah "warna" yang paling tak mampu menyerap
satu pun spektrum. Dia yang harus terserap. Terserap untuk kembali hanya pada
Allah.
Nice yaa! :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar