2015 #hopeIcanGotoThere

2015 #hopeIcanGotoThere

Senin, 02 September 2013

Kakbah, the Cube

Diambil dari buku 99 Cahaya di Langit Eropa
Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra

Bangunan kubus berwarna hitam ini pernah kulihat di mana-mana. Di lukisan, bingkai foto, sajadah, maupun dalam siaran televisi. Bentuknya demikian sederhana, namun begitu sempurna. Tak perlu membuatnya beraneka warna, tak perlu membentuknya aneka rupa. Hanya hitam saja, kubus saja.

Hitam adalah induk segala warna. Dia mampu menyerap semua spektrum cahaya, meskipun sebenarnya hitam adalah akromatik, warna yang justru melambangkan ketiadaan warna. Kekosongan. Budaya barat mengidentikan hitam dengan kematian, namun aku lebih suka mengasosiakannya dengan pencapaian puncak. Bukankah dalam seni beladiri, sabuk hitam adalah pencapaian paling tinggi? Demikian juga dalam pencapaian gelar akadmis; toga berwarna hitam. Mobil milik pejabat tinggi maupun jenis tulip yang paling mahal, semua hitam. Hitam adalah puncak kesempurnaan. Bentuk kubus juga tak kalah sempurna bagiku. Karena titik sudut, garis rusuk, dan sisinya paling teratur dan simetris dari segala arah. Demikian juga Islam - sederhana, namun sempurna dari segala sisi.

Aku merasa, di sinilah tempat terindah yang pernah kulihat di dunia. Orang boleh terkagum-kagum dengan kecantikan menara Eiffel atau kemegahan Colosseum Roma. Tapi Kakbah dan Masjidil Haram adalah keajaiban dunia yang sebenarnya. Aku merinding menyaksikan ratusan ribu manusia berputar mengelilinginya dalam kecepatan dan ritme yang sama, dengan melafalkan kalimat-kalimat pujian yang sama untuk-Nya.

Lama aku mencari alasan mengapa "Rumah Allah" dibuat sesederhana ini, di tempat seperti ini. Mengapa Tuhan memilih Mekkah sebagai tempat untuk umat-Nya berhimpun? Tempat yang dilingkupi gurun pasir serta muntahan panas dan terik matahari sepanjang tahun? Kini aku bisa menjawabnya: Karena di situlah aku merasa hanya Tuhan satu dan satu-satunya zat yang menjadi perhatianku, yang menjadi penolongku.

Dia memilih tempat ini agar ibadahku tak terganggu dengan pesona dan kemolekan daya tarik yang lain. Karena doa yang sungguh-sungguh dan terkabul, tentulah doa-doa yang dipanjatkan sepenuh hati dan pikiran hamba-Nya.

Sejenak di dalam berjubelnya umatb manusia yang mengitari Kakbah malam itu aku tersadar akan sesuatu yang lain lagi. Ternyata segala makhluk dan benda di jagat raya ini, sekecil apa pun dia, juga bertawaf untuk menjaga keseimbangan hidup. Aku dan ratusan ribu manusia malam itu tak ubahnya elektron-elektron yang mengelilingi inti atom. Seperti planet-planet yang mengitari matahari dan pusat galaksi. Mereka berputar sangat padu dengan izin Sang Maha Pencipta. Lautan Manusia yang melakukan tawaf itu juga digerakkan oleh satu tujuan: mengagungkan kebesaran Allah.

Dalam tawaf aku menegok sekelilingku. Aku terpana menyaksikan manusia-manusia segala bangsa, segala warna kulit, segala strata sosial berkumpul jadi satu, melakukan aktivitas yang sama. Mereka semua berpakaian ihram putih, berkebalikan dengan Kakbah yang hitam legam. Jika hitam adalah "warna" yang menyerap segala spektrum, putih adalah "warna" yang paling tak mampu menyerap satu pun spektrum. Dia yang harus terserap. Terserap untuk kembali hanya pada Allah.



Nice yaa! :D

Tidak ada komentar: