Saya mengenal novel ini ketika saya menjadi panitia dalam
suatu kegiatan. Kegiatan tersebut berlangsung
cukup lama, 5 hari, tetapi banyak waktu luang di dalamnya, mungkin karena saya
sie konsumsi (kerja hanya pada saat jam-jam makan, selebihnya pengangguran :p).
Bagi saya hal itu menjadi sangat membosankan, untungnya di awal kegiatan ada
seorang teman yang meminjamkan buku. Ternyata sebuah novel filsafat. Kalo dari
covernya sih tertulis BEST SELLER INTERNASIONAL. Di sana juga dicantumkan pendapat
para ahli tentang novel tersebut, dituliskan jika bahasa yang digunakan mudah
dicerna. Okelah, saya putuskan untuk membacanya, lagian saya juga lumayan
penasaran. Pun daripada jadi pengangguran yang tidak jelas. Hee..
Tebal bukunya 798 lembar. Tebal buku bagi saya tidak
masalah, karena saya sudah mulai terbiasa membaca buku-buku dengan ketebalan
beragam (ceile, gaya banget, haha). Sehari dua hari dikebut, masih bisalah
selesai (Novel loh ya, haha, or something interest). Tapi ternyata novel yang
satu ini berbeda sekali. Butuh kesabaran dan kesetiaan dalam membacanya, haha (Itu loh membutuhkan pemikiran dalam mencerna
kalimat-kalimatnya, ya ampun padahal menurut para ahli penjelasan di dalam
novel ini mudah sekali -_-, bagaimana kalo penjelasan yang biasanya coba yaa
-_-). Dan akhirnya novel tersebut berhasil saya selesaikan dalam waktu 2 minggu
(itupun dengan meloncat-loncat, masih banyak juga yang belum saya pahami).
Oh ya, ada filmnya juga loh. Tapi kalo saya pribadi,
lebih suka membaca dulu, baru melihat film. Lebih bisa berimajinasi aja, pun
juga lebih ngena.
Oke next
Novel ini berisikan sejarah filsafat yang mengandung
corak Barat yang cukup kental. Ada beberapa bagian yang memaparkan sejarah
dalam versi yang dipandang Islam dengan cara yang berbeda. Hal ini tentu saja
tidak bisa dilepaskan dari latar belakang pengarangnya –Jostein Gaarder-.
Begitu juga saat membahas situasi dunia di Abad Pertengahan, sebagaimana
lazimnya cara penulis Barat dalam memotret periode ini, Gaarder melewatkan
banyak kontribusi besar para filosof dan Ilmuan Islam dalam mengantarkan Eropa
keluar dari abad kegelapannya.
Tapi ini tidak semestinya
membuat novel ini tidak layak diapresiasi. Bagaimanapun, bahasa filsafat tidak
bisa dilepaskan dari lingkungan pengalaman sehari-hari dan itu membuka
kemungkinan bagi setiap orang untuk memperkaya diri dengan mengambil bahan
renungannya dari pengalaman orang lain, termasuk lewat novel ini. (salah satu paragraf
Pengantar Penerbit Mizan, Dunia Sophie).
Oke, saya akan mencoba mensharingkan beberapa point yang
saya dapat. Tapi sebelumnya akan lebih bijak jika kita mengingat salah satu
nasehat Goethe.
Penyair Jerman Goethe pernah
berkata bahwa “Orang yang tidak dapat belajar dari masa tiga ribu tahun berarti
dia tidak memanfaatkan akalnya.” Aku tidak ingin kamu berakhir dengan keadaan
yang begitu menyedihkan. Aku akan melakukan apa yang dapat kulakukan untuk
memperkenalkanmu dengan akar sejarahmu. Itulah satu-satunya cara untuk menjadi
seorang manusia. Itulah satu-satunya cara untuk menjadi lebih dari sekadar
seekor kera telanjang. Itulah satu-satunya cara agar kita tidak hanya
melayang-layang di ruang hampa. (halaman 259, Dunia Sophie)
Sophie, seorang pelajar berusia empat belas tahun yang
suatu ketika tiba-tiba mendapat surat misterius yang hanya berisi satu
pertanyaan: “Siapa kamu?” Kemudian berlanjut ke surat-surat misterius
berikutnya: “Dari manakah datangnya dunia?”. Surat itu membuat Sophie mulai
mempertanyakan soal-soal mendasar yang tidak pernah ia pikitkan selama ini. Dia
mulai belajar Filsafat. (Sinopsis Dunia Sophie)
Nah, sekarang saya akan tuliskan beberapa kutipan dari
novel ini. Semoga saja bisa membuat teman-teman menjadi penasaran dengan isi
bukunya. :D
Tapi ini hanya direkomendasikan untuk teman-teman yang
tertantang nyali keimanannya sih. Kalo misal teman-teman hanya mau berada di
dalam zona aman, ya sebaiknya jangan membaca novel ini.
Percakapan antara Sophie dan Guru Filsafatnya –Alberto-.
“Apakah memang mutlak pasti bahwa Tuhan itu ada?”
“Itu dapat diperdebatkan, tentu saja. Tapi bahkan pada
zaman kita sekarang ini kebanyakan orang akan setuju bahwa akal manusia itu
jelas tidak mampu membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada. Aquainas melangkah
lebih jauh. Dia percaya bahwa dia dapat membuktikan eksistensi Tuhan atas dasar
filsafat Aristoteles.”
“Bagus juga!”
“Dengan akal, kita dapat mengetahui bahwa segala sesuatu di
sekitar kita pastilah mempunyai ‘sebab formal’, Tuhan mengungkapkan dirinya
kepada umat manusia melalui kitab suci dan juga melalui akal. Oleh karena itu
ada ‘teologi iman’ dan ‘teologi alam’. Demikian pula halnya dengan aspek moral.
Kitab suci mengajarkan kepada kita cara menjalani kehidupan. Tapi, Tuhan juga
memberi kita suatu kesadaran yang memungkinkan kita untuk membedakan yang benar
dan yang salah atas dasar ‘alam’. Oleh karena
itu ada ‘dua jalan’ menuju kehidupan moral. Kita tahu bahwa kita salah
jika kita mencelakakan orang, bahkan jika kita belum membaca dalam kitab suci
bahwa kita harus ‘bertindak kepada orang lain sebagaimana kamu inginkan orang
lain bertindak terhadapmu.’ Di sini pun tuntutan yang pasti adalah mengikuti
perintah kitab.”
“Kukira aku dapat mengerti,”kata Sophie sekarang. “Itu
nyaris seperti bagaimana kita tahu sedang ada hujan angin, dengan melihat
adanya kilat menyambar dan dengan
mendengar suara Guntur.”
“Benar sekali! Kita dapat mendengar suara Guntur bahkan
jika kita buta, dan kita dapat melihat kilat menyambar bahkan jika kita tuli.
Memang yang paling baik adalah apabila kita dapat melihat dan mendengar, tentu
saja. Tapi tidak ada pertentangan antara
apa yang kita lihat dan apa yang kita dengar. Sabaiknya – kedua kesan itu
saling menguatkan.”
“Aku mengerti.”
“Biar aku tambahkan sebuah gambaran lain. Jika kamu membaca
novel – karya John Steinbeck of Mice and Men, misalnya…”
“Aku telah membacanya, sungguh.”
“Tidakkah kamu merasa bahwa kamu mengetahui sesuatu tentang
pengarangnya hanya dengan membaca bukunya?”
“Aku menyadari memang ada kepribadian dari orang yang
menulisnya.”
“Hanya itukah yang kamu ketahui tentang dia?”
“Tampaknya dia sangat memedulikan orang-orang luar.”
“Jika kamu membaca buku ini –yang merupakan hasil ciptaan
Steinbeck- kamu juga jadi tahu sesuatu mengenai sifat Steinbeck. Tapi kamu
tidak dapat berharap untuk memperoleh informasi pribadi tentang sang pengarang.
Dapatkah kamu mengetahui dengan membaca of Mice and Men berapa umur sang
pengarang ketika dia menulisnya, di mana dia tinggal, atau berapa banyak anak
yang dimilikinya?”
“Tentu saja tidak.”
“Tapi kamu dapat menemukan ini dalam biografi tentang John
Steinbeck. Hanya dalam biografi – atau otobiografi- sajalah kamu dapat lebih
mengenal Steinbeck, orangnya.”
“Itu benar.”
“Kira-kira begitulah kaitan antara Ciptaan Tuhan dan Kitab Suci.
Kita dapat mengetahui adanya Tuhan hanya dengan berjalan mengelilingi alam.
Kita dapat dengan mudah mengetahui bagaimana Dia mencintai tanaman dan
binatang, sebab jika tidak, Dia tidak akan menciptakannya. Tapi informasi
tentang Tuhan itu sendiri hanya terdapat dalam Kitab – atau ‘otobiografi’
Tuhan, jika kamu suka istilah itu.” (halaman 286-288, Dunia Sophie)
Memang iya, seharusnya begitu, tidak
ada pertentangan antara kitab dan alam; jika ‘itu’ memang kitab yang benar. (saya
simpulkan seperti itu, hee)
Oke, lanjut yaa, mari memperkaya
pikiran lagi. :D
Seorang astronot Rusia dan
seorang ahli bedah otak Rusia pernah membicarakan agama. Ahli bedah itu adalah
seorang Kristen, sedangkan sang astronot bukan. Sang astronot berkata, ‘Aku
telah pergi ke luar angkasa berkali-kali tapi tidak pernah melihat Tuhan atau
malaikat’ Dan ahli bedah otak itu berkata, ‘Dan aku telah mengoperasi banyak
orang cemerlang, namun aku tidak menemukan satu pikiran pun.”
“Tapi itu tidak membuktikan
bahwa pikiran itu tidak ada.”
“Tidak, tapi itu menekankan
kenyataan bahwa pikiran bukanlah benda yang dapat dioperasi atau dipecah-pecah
menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Tidak mudah, misalnya, untuk
menghilangkan angan-angan melalui operasi. Itu terlalu jauh untuk bidang
operasi. Seorang filosof penting dari abad ketujuh belas bernama Leibniz mengemukakan bahwa perbedaan
antara yang material dan yang spiritual sesungguhnya adalah bahwa yang material
dapat dipecah-pecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, sedangkan jiwa
bahkan tidak dapat dibagi dua.” (Halaman 363-364, Dunia Sophie)
Jangan hanya percaya terhadap apa yang dilihat. (begitu
sih kalo aku, J )
“Kamu mengerti maksudnya. Jika orang-orang menyadari mereka
hidup dan suatu hari akan mati – dan tidak ada makna yang dijadikan pegangan –
mereka mengalami ketakutan, kata Sartre.” (Halaman 703, Dunia Sophie)
Setuju
banget. Kita membutuhkan pegangan yang dijadikan dasar untuk jaminan
keselamatan kita kelak.
Selama membaca novel ini, novel ini sedikitpun tidak memberi
ruang bagi saya untuk tertawa, kecuali 1 hal. Berikut dialognya:
“Namaku Morten,” kata si angsa. “Sebenarnya, aku seekor
angsa, tapi dalam kesempatan yang istimewa ini aku telah terbang dari Lebanon
dengan kawanan angsa liar. Tampaknya seakan-akan kamu membutuhkan pertolongan
untuk turun dari pohon ini.”
“Kamu terlalu kecil untuk dapat membantuku.” Kata Sophie.
“Kamu terburu-buru mengambi kesimpulan, gadis muda. Kamulah
yang terlalu besar.”
“Itu sama saja bukan?” (Halaman 691, Dunia Sophie)
Hoho.. bagi saya itu sih lucu, banget malah. Haha..
Oke, mari kita akhiri sampai di sini saja pembahasan kita
tentang novel ini ya, jika teman-teman memang berminat membaca, bisa download
ebooknya. Udah ada kok. :D
Oh ya, cerita
sedikit ya. Hehe.. sehari yang lalu saya terkena demam. Saya tidak bisa
melakukan apapun. Seharian berada di kamar dengan kondisi yang sedikit
mengenaskan (lemas dan tidak dapat melakukan apapun). Waktu seakan berjalan
lambat sekali. Ah, mengerikan. Saya tidak ingin sakit lagi. Mungkin, Tuhan
memberikan sakit kepada saya, agar saya lebih memperhatikan kondisi diri saya,
juga agar tidak melewatkan setiap waktu dengan kesia-siaan. Hmm… Alhamdulillah
sekarang sudah lumayan sehat. Hehe.. Selanjutnya, kutipan terakhir adalah:
Hanya dengan membangkitkan perasaan mendalam bahwa suatu hari
orang pasti mati,
maka dia dapat menghargai betapa senangnya dia bisa hidup.
(Dunia Sophie)
Oke,
selamat berproses semuanya, tetapi satu hal yang mesti kita pahami. Hidup itu
pilihan. Dan ketika kamu telah memilih suatu keyakinan dengan sepenuh hati dan
akalmu berarti selanjutnya kamu harus tunduk atas iman. J
Gitu
aja sih.. hehe.. salam hangat dari Temanggung ^_^
Oh ya, satu lagi pesan saya, jika sudah selesai membaca novel ini, jangan lupa kembali ke dunia nyata ya! hehe.. Masih banyak yang harus dikerjakan. :)
Oh ya, satu lagi pesan saya, jika sudah selesai membaca novel ini, jangan lupa kembali ke dunia nyata ya! hehe.. Masih banyak yang harus dikerjakan. :)